Rabu, 14 April 2010
Relevansi Pemikiran Bung Karno dalam Era Globalisasi - Oldefo vs Nefo
Indonesia sekarang menghadapi serangan dari negara-negara industri, terutama Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Australia. Serangan tersebut berupa serangan ekonomi. Ekonomi Indonesia dipaksa dibuka selebar-lebarnya untuk barang komoditas dari Barat masuk tanpa batas.
Indonesia dipaksa mengikuti “ideologi” free trade dalam sebuat situasi ekonomi yang kuat, yaitu kekuatan ekonomi transnational corporations, International Monetary Fund dan Bank Dunia bisa memanfaatkan “kebebasan” tersebut untuk menguras habis kekayaan Indonesia.
Serangan ini sebenarnya sedang berlangsung terhadap semua elemen “Dunia Ketiga”. Namun, serangan ini juga melahirkan arus balik. Dan arus balik perlawanan terhadap IMF, World Bank, dan transnational corporations (konglomerat negara kaya) menunjukkan bahwa konsep “Dunia Ketiga” yang dirumuskan oleh Mao Tse Tung tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya. Ternyata yang lebih tepat adalah konsep yang dirumuskan Bung Karno pada tahun 1960-an. Memang betul bahwa analisis-analisis Mao Tse Tung meninggalkan istilah ”Dunia Ketiga” dalam pembendaharan kata politik dunia sampai sekarang. Namun, ternyata adalah konsep Bung Karno yang lebih akurat berhasil menangkap perkembangan politik global era millenium baru. Mao membagi dunia ke dalam tiga kubu. Dunia pertama adalah dunia negara-negara industri kapitalis. Dunia kedua ialah negara-negara sosialis, di blok Uni Soviet. Dunia ketiga adalah negara-negera sedang berkembang, mantan koloni yang juga, menurut Mao, merupakan motor penggerak perubahan dunia. Sukarno tidak menerima analisis Mao. Dengan lebih cermat, ia melihat dinamika revolusioner di lapangan pergerakan sendiri. Bung Karno membagi dunia ke dalam hanya dua kubu. Pertama, kubu OLDEFO atau Old Emerging Forces, terdiri dari pemerintah-pemerintah negara industri kapitalis bersama-sama elite feodal dan kompradore di negara-negara sedang berkembang. Di sisi lain terdapat NEFO, atau New Emerging Forces, yang merupakan pemerintah, bangsa, dan rakyat progresif negara sedang berkembang serta bersama-sama rakyat-rakyat progresif di negara industri kapitalis.
Pada zaman sekarang peta ini lebih jelas. Blok Soviet sudah runtuh. Pemerintah-pemerintah eks blok sosialis yang masih ada sudah menjadi bagian dari pemerintah-pemerintah progresif dunia negara sedang berkembang. Pemerintah Kuba dan Vietnam, misalnya, lebih bergerak sebagai bagian dari perlawanan “dunia ketiga” daripada sebuah blok sosialis. Selain Kuba dan Vietnam juga ada negara-negara ¨dunia ketiga¨ lain yang ambil peranan melawan kontrol OLDEFO. Pemerintah Venezuela adalah contoh yang baik. Bahkan, meskipun hanya dalam hal-hal tertentu saja, cukup banyak pemerintah negara-negara sedang berkembang sudah mulai membangkang. Malaysia, misalnya, dalam hal kontrol mata uangnya.
World Trade Organisation (WTO) juga diwarnai oleh perlawanan dunia sedang berkembang dalam hal-hal seperti kontrol OLDEFO terhadap hak paten dan lain sebagainya. Di dunia negara industri maju sendiri dalam lima tahun terakhir ini juga sangat terasa mulai berkembang new emerging forces di dalam masyarakatnya sendiri.
Sejak demonstrasi-demonstrasi di Seattle di Amerika Serikat dua tahun yang lalu gerakan “antiglobalisasi” sudah meluas ke mana-mana di dunia negara-negara industri. Demonstrasi-demonstrasi massal yang menuntut penghapusan utang luar negeri Dunia Ketiga menjamur di berbagai negara-negara di Amerika Utara, Eropa, dan juga di Australia. Demonstrasi-demonstrasi ini juga melawan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) yang memaksakan paket kebijakan neo-liberal ke seluruh negara Dunia Ketiga. Gerakan antiglobalisasi ini pada hakekatnya merupakan gerakan solidaritas dengan rakyat negara-negara sedang berkembang. Sekaligus melawan elite-elite mapan di Barat itu sendiri. Tentu saja gerakan antiglobalisasi ini bukan gerakan yang melawan semakin meluasnya dan semakin intensnya hubangan antarnegara dalam segala bidang. Gerakan anti-globalisasi yang sedang berkembang ini melawan mengglobalnya upaya kaum OLDEFOs untuk memaksakan kebijakan neo-liberal yang menyerahkan segala hal ke kontrol sektor swasta demi laba atau profit. Tuntutan pokok gerakan antiglobalisasi ini adalah pembatalan utang luar negeri dunia ketiga, pembubaran IMF dan WB, dan penghentian terhadap semua proses penjualan aset publik pada swasta. Kekuatan NEFOs abad ke-21 sudah mulai berkumpul untuk mencari strategi dan wadah untuk teruskan perjuangannya. Sudah dua kali gerakan-gerakan sosial, LSM-LSM, aktivis-aktivis politik dari seluruh dunia sudah berkumpul di kota Porto Allegre di Brasil dan menyelenggarakan World Social Forum.
Dalam World Social Forum bulan Januari yang lalu lebih dari 60 ibu aktivis berkumpul dari seluruh dunia untuk membicarakan strategi untuk menghadapi IMF, WB, serta Washington, London, Berlin, Tokyo, dan Canberra. Bulan Januari mendatang akan diselenggarakan juga Asia Social Forum yang pertama, disusul oleh Asia Pacific Anti-Military Social Forum di Manila pada bulan Augustus, 2003.
Dulu Bung Karno berusaha mendirikan KONEFO atau Konperensi New Emerging Forces. Sebenarnya World Social Forum di Porto Allegre juga merupakan usaha ke dalam arah yang sama. Prosesnya memang belum selesai. Masih ada banyak perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Masih cukup banyak kekuatan-kekuatan yang belum masuk ke proses ini. Proses meluasnya wadah WSF ini persis merupakan proses penguatan NEFO yang dibayangkan Sukarno. Sebenarnya ini adalah proses membangun kembali sebuah front antiimperialisme.
Sumber : www.gentasuararevolusi.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar